Pergantian generasi adalah keniscayaan. Persoalan ini tak pernah habis dibahas. Islam menghendaki generasi kuat dan mengingatkan untuk tidak meninggalkan generasi lemah. Maka, orang tua harus membekali anak-anak mereka dengan kekuatan ekonomi-finansial serta mentalspiritual. Bekal pertama termanivestasi dalam peraturan pembagian harta (mawarits) dan yang kedua tecermin dalam pendidikan. Masalah kesejahteraan keluarga cukup mendapatkan perhatian dalam Islam. Allah telah memperingatkan dalam Alquran, ”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (An Nisa’: 9).

Ada dua cakupan pesan dari ayat tersebut.Secara khusus, ayat itu berbicara kepada  para penanggung jawab harta anak yatim dan anak kandungnya. Keturunan para amil harta anak yatim tersebut dilarang keras menggunakan harta anak yatim secara zalim yang berada dalam tanggungan orang tua mereka. Karena itu, sebagai pencegahan, para amil ini harus menyejahterakan anak-anak mereka sendiri untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan penggunaan harta anak yatim yang tidak pada tempatnya.

Pesan secara umum adalah peringatan untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah bagi siapa pun. Ini tidak hanya menyangkut aspek harta benda, tapi juga seluruh kelemahan pada diri manusia yang dapat menjauhkannya dari Allah SWT, sesuai redaksi nakirah-nya. Misalnya, lemah ekonomi, fisik dan spiritual, sikap dan mental, serta ilmu dan intelektual yang menyangkut kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Sebagai kebalikannya, ayat ini memerintahkan untuk mempersiapkan generasi yang kuat dalam segala aspeknya. Yakni, generasi kuat yang bisa mengangkat derajat orang tua, agama, bangsa, dan negaranya. Untuk itu, diperlukan persiapan matang dari orang tua berupa ketakwaan (fal yattaqû Allâh) dan dibarengi perkataan (qaulan) yang berarti bentuk representasi sebuah metode yang benar (sadid).

Apabila dilihat dari korelasi beberapa ayat sebelum dan sesudah surat An Nisa’ ayat 9 tersebut, pesan yang ditekankan ialah aspek ekonomi keluarga. Ayat ini merupakan salah satu pengantar untuk memasuki pembahasan tentang hukum pembagan harta warîts yang akan dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya. Penjelasannya, salah satu aspek agar kesejahteraan keluarga terjamin adalah menerapkan hukum warits secara benar. Perhatian besar Islam dalam ekonomi
keluarga tecermin dalam hukum waris. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan pembagian harta yang sangat terperinci (tafshîly). Mulai ahli waris, klasifikasi, keadaan, hingga kadar yang diterima seperti setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, seperenam, dan dua pertiga. Semua dijelaskan secara jelas, lugas, dan ringkas (An
Nisa’: 11, 12, 176). Hal ini sedikit berbeda dengan shalat, zakat, puasa, dan haji yang masih bersifat global (mujmal). Perinciannya dapat ditemui dalam penjelasan Nabi SAW, baik verbal atau praktikal.

Uang memang bukan segala-galanya, tetapi segala sesuatu membutuhkan uang. Entah siapa yang membuat kalimat ini, tetapi yang penting pesan yang disampaikan cukup masuk akal, terutama pada zaman ini. Yaitu, harta menjadi modal penting untuk bergerak di segala bidang. Anak-anak cucu yang ditinggalkan diharapkan mampu bergerak dan menggerakkan kehidupan lantaran harta peninggalan tersebut, bukan malah berebut harta. Di sinilah pentingnya penerapan waris dengan benar. Selain bekal ekonomi dan finansial, bekal yang penting adalah bekal mental dan spiritual. Bekal inilah yang cukup banyak menghiasi Alquran. Contoh sederhananya ialah harapan Nabi Ibrahim agar keturunannya menjadi muslim yang kuat, mendirikan shalat, berilmu, berperadaban, sekaligus berlimpahan rezeki (Al Baqarah: 126-132, Ibrahim: 39-41).

Contoh lain

bisa dipahami dari wasiat tauhid Nabi Ya’qub ketika ajal menjelang (Al Baqarah: 133) atau nasihat Luqman kepada anak-anaknya tentang keimanan, dasar moralitas, integritas tinggi, kepemimpinan, dan keilmuan (Luqman: 12-20). Dengan bekal kedua inilah, sebuah generasi emas dipersiapkan. Kebanyakan garis kenabian berasal dari Nabi Ibrahim. Bahkan, cucu beliau, Nabi Muhammad SAW, menjadi manusia emas di alam semesta. Luqman, walaupun bukan seorang nabi, namanya menghiasi Alquran karena kesuksesan kepemimpinan kelurga yang diembannya. Begitu juga tokoh-tokoh lain dalam Alquran. Semuanya menerapkan pendidikan karakter yang cukup sukses dalam keluarganya. Dalam mempersiapkan bekal ini, ibu memiliki peran vital. Karena itu, perlu persiapan matang. Mereka yang shalihah, keturunan unggul, ahli dalam mendidik anak, menjadi teladan keluarga dan mampu mendampingi sang suami. Seni mendidik keibuan inilah yang jarangdimiliki lelaki. Patut direnungi kata pujangga Mesir Ahmad Syauqi bahwa ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkannya, engkau menyiapkan generasi berkualitas tinggi (al-Umm madrasah. Idza a’dattaha, a’datta jailan thayyaiba ala’raq). Selain ibu, faktor kondisi keluarga secara keseluruhan sangat berpengaruh. Jangan mengharap anak lemah lembut jika ia sering melihat perilaku kasar. Tidak usah menginginkan anak berkata sopan kalau orang tuanya tidak menjaga lisan. Harapan akan hilang jika mengharap anak jujur, namun hidup dalam kebohongan. Sia-sia bercita-cita punya anak sukses jika orang tuanya masih malas. Keharmonisan rumah tangga memiliki korelasi yang kuat dengan daya mental anak. Alhasil, anak-anak sebagai penerus merupakan aset berharga orang tuanya. Untuk itu, jangan sampai mereka ditinggalkan dalam keadaan lemah. Sebaliknya, kita harus mempersiapkan generasi yang kuat. Dalam surat At Thur ayat 21 dijelaskan bahwa ”Orang-orang yang beriman dan keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, maka kami hubungkan (derajat) dengan mereka”. (eko)
 
Top